Selamat membaca
Memerdekakan Mental Terjajah
semoga bermanfaat

judul widget leftbar

IP free counters

Label

My Blog List ( DO FOLLOW )

algredekiyah@gmail.com. Powered by Blogger.

Popular Posts

Followers

Categories

Memerdekakan Mental Terjajah

I'll Share Everything I Know

Memerdekakan Mental Terjajah

TAK terasa waktu bergulir, Indonesia sebagai sebuah bangsa kini telah berumur 65 tahun, umur yang cukup renta. Itu berarti, secara fisik-empiris-psikologis, dalam rentang waktu yang cukup lampau kita telah terbebas dari belenggu penjajah. Kendati telah terbebas dan merdeka sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, ternyata sesungguhnya sejak merdeka hingga kini kita belum mengalami kemerdekaan mental.

Perilaku korup yang terjadi di berbagai lini di negeri ini yang tak kunjung selesai, bahkan semakin merebak sampai ke daerah-daerah, menandakan bahwa bangsa kita belum terbebas dari keterjajahan substantif material. Mental bangsa yang terlampau ''mendewakan'' uang dan kuasa menjadi pertanda bahwa belenggu uang serta kuasa atas individu-individu bangsa membuat diri mati rasa, sehingga sikap positif yang seharusnya dikembangkan seperti sikap dedikatif, patriotis, dan altruis demi bangsa hanyalah menjadi gugusan romantisisme.

Uang dan kuasa senyatanya memang bukan berkarakter seperti penjajah. Namun, pemosisian uang dan kuasa oleh individu-individu bangsa sendiri justru membuat uang dan kuasa menjadi belenggu yang amat hebat di negeri ini.

Agaknya, ada logika terbalik yang diberlakukan atas uang dan kuasa. Uang dan kuasa seharusnya tak dijadikan sebagai tujuan, walau hidup ini butuh uang. Ketika uang dan kuasa dijadikan tujuan, akan terjadilah penghancuran atas makna nilai hidup. Seharusnya, uang dan kuasa diposisikan sebagai instrumen untuk menjalani hidup.

Tampaknya, kita perlu yakin, bila kita lebih dulu mau menunjukkan nilai kerja dan karya terbaik bagi bangsa dan umat manusia, tentu orang akan amat menghargai dan bentuk penghargaan itu akan dinilai dengan yang namanya uang. Jika logika itu yang dipakai di negeri ini, niscaya individu-individu bangsa yang terbelenggu uang dan kuasa akan terbebas dari perilaku korup.

Logika dan kesadaran tersebut menjadi penting karena bisa menjanjikan solusi. Jika logika dan kesadaran itu tak ada, upaya penyelesaian tak akan tercapai. Penyelesaian hanya akan berputar-putar dalam lingkaran penyelesaian tindakan korup tak berujung, meski yang memimpin negeri ini sebaik dan sehebat apa pun. Kesadaran untuk mau terbebas dari belenggu itulah yang akan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Namun, persoalannya sekarang adalah belum terbangunnya pembalikan logika dan kesadaran tersebut.

Sehubungan dengan itu, dalam filosofi Jawa, sesungguhnya telah terwaris sangkan paraning dumadi, ''kesadaran personal manusia dari mana dan akan ke arah mana hidup'', yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) yang patut kita resapi untuk kebaikan bangsa dan umat manusia. Filosofi Jawa itu merupakan kesadaran hidup yang justru kali pertama harus kita pancangkan sebelum melangkah dan mengembangkan perilaku dalam hidup keseharian.

Untuk apa hidup, apa arti hidup, dan bagaimana memaknai hidup merupakan pertanyaan eksistensial yang harus kita mengerti dan sadari sepenuh hati. Sebab, kesadaran itulah yang menjadi sumber kebajikan yang akan menapasi perilaku individu-individu bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

***

Kini, kita harus mau dan bisa kembali belajar mencintai Indonesia. Jika selama ini, terutama pada era globalisasi, kita terlampau silau dengan kejayaan dan keunggulan bangsa lain, kini saatnya kita mau melirik Indonesia sang bumi pertiwi yang patut kita cintai.

Sebab, di negeri inilah kita berpijak, mengembangkan hidup, dan menyiapkan generasi penerus. Kita harus mewajibkan diri sendiri untuk mencintai, menghormati, serta mengabdi kepada sang ibu pertiwi Indonesia. Kita juga harus bangga dengan keindonesiaan kita dengan plus-minusnya. Kebanggaan itulah yang harus menapasi gerak-langkah individu-individu bangsa dalam meraih prestasi dan berkarya.

Kita tentu saja tak cukup hanya menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, namun harus diikuti dengan tindakan nyata dalam kehidupan keseharian untuk selalu berbuat yang terbaik (giving the best) untuk bangsa. Berbagai pontensi, profesi, dan aktivitas apa pun, jika kita tekuni secara optimal, akan mendatangkan kebaikan bagi bangsa. Karena itu, misalnya, tentunya tak perlu orang berebut memegang jabatan politik dan meninggalkan potensi profesi yang sebenarnya lebih berarti bagi bangsa jika dikembangkan.

Adanya mind-set bahwa hanya jabatan politik yang paling prestise dan membuat kaya sehingga serta-merta membuat individu-individu meninggalkan potensi profesi begitu saja secara tak langsung sebenarnya merugikan bangsa. Tapi, itu tidak berarti orang tak boleh berpindah ke dunia politik jika memang berpotensi menjadi pejabat politik atau politikus.

Misalnya, rohaniwan potensial yang berpindah menjadi politikus, selebritis berbakat yang menjadi politikus, atau guru teladan yang menjadi politikus justru tak mampu berbuat apa-apa untuk bangsa ketika menjadi pejabat politik. Terjadi juga, anggota dewan yang hanya untuk hadir rapat tak bisa memenuhi kewajibannya, apalagi membela kepentingan rakyat. Karena itu, tentu tak heran jika Pong Hendratmo, seorang aktor senior, memprotes dengan naik ke kubah gedung DPR Senayan, kemudian menuliskan kata ''jujur, adil, dan tegas''.

Selain itu, kecintaan kepada Indonesia belum ditunjukkan dalam menggunakan produk sendiri. Kita lupa bahwa negeri ini akan besar dan jaya jika individu-individu bangsa mau menggunakan produk sendiri. Di sini, bangsa kita memang belum memiliki strategi yang jelas karena Indonesia sekarang ini hanya menjadi ''pasar besar'' berbagai produk luar negeri. Padahal, kalau mau jujur, sebenarnya banyak potensi produksi Indonesia yang amat bermutu.

Akhirulkalam, HUT Ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI ini semoga mampu menginspirasi individu-individu bangsa untuk mencintai kembali Indonesia dengan cara kita masing-masing. Kita yang hidup dan mengembangkan diri di negeri ini memang harus sadar bahwa kita adalah anak bangsa negeri ini, sehingga kita juga harus sadar bahwa kitalah yang harus menghidupkan Indonesia. Kebebasan mental dari keterjajahan uang dan kuasa adalah titik awal kita untuk membangun spirit keindonesiaan agar kita bisa mencintai kembali Indonesia. (*)

*) oleh : Dr Putera Manuaba MHum, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya

jp/170810
Rata Penuh

0 comments

Silahkan Beri Komentar Saudara...

Elingo

Galeri








Tamu

Template Oleh trikmudahseo